Dasar Hukum Pidana
Halo Sahabat!
Terimakasih masih mau berkunjung, mari kita simak apa saja hukum pidananya :
1) KUHP
Penipuan secara online pada prinisipnya sama
dengan penipuan konvensional. yang membedakan hanyalah pada sarana perbuatannya
yakni menggunakan Sistem Elektronik (komputer, internet, perangkat
telekomunikasi). Sehingga secara hukum, penipuan secara online dapat
diperlakukan sama sebagaimana delik konvensional yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Dasar hukum yang digunakan untuk menjerat pelaku penipuan
saat ini adalahPasal 378 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau
martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya
memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan
pidana penjara paling lama 4 tahun.
2) UU ITE 11/2008
Keberadaan
undang-undang ITE 11/2008 berfungsi sebagai pedoman, norma dan kontrol terhadap
perilaku para pengguna internet. Hal ini bertujuan untuk memprevensi,
mendeteksi atau mereduksi kejahatan internet, kecurangan dan perilaku pengguna
internet yang tidak etis, yang dilakukan melalui penggunaan teknologi
informasi. Pedoman, norma dan fungsi kontrol tercermin pada ketentuan yang
terdapat dalam bab dan pasal-pasal UU ITE 11/2008. Ketentuan ini mengacu pada
upaya regulator untuk mengarahkan dan mengendalikan perilaku para pengguna
internet serta meningkatkan kepatuhan para pengguna terhadap UU ITE 11/2008.
Peningkatan kepatuhan para pengguna internet diharapkan mampu mereduksi
terjadinya kejahatan internet (cybercrime) dan perilaku negatif para pengguna
internet.
Perlakuan hukum pelaku
cybercrime(fraud) jika dijerat menggunakan UU
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”), maka pasal yang dikenakan
adalah Pasal 28 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen
dalam Transaksi Elektronik.
Ancaman pidana dari pasal tersebut adalah penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 45 ayat [2]
UU ITE).
Untuk pembuktiannya, APH bisa menggunakan bukti elektronik
dan/atau hasil cetaknya sebagai perluasan bukti sebagaimana Pasal 5 ayat (2) UU
ITE, di samping bukti konvensional lainnya sesuai dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Bunyi Pasal 5 UU ITE:
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan
dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia
Sebagai catatan, beberapa negara maju mengkategorikan
secara terpisah delik penipuan yang dilakukan secara online (computer
related fraud) dalam ketentuan khusus cyber crime.
Sedangkan di Indonesia, UU ITE yang ada saat ini belum
memuat pasal khusus/eksplisit tentang delik “penipuan”. Pasal 28 ayat (1) UU
ITE saat ini bersifat general/umum dengan titik berat perbuatan “penyebaran
berita bohong dan menyesatkan” serta pada “kerugian” yang diakibatkan perbuatan
tersebut. Tujuan rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tersebut adalah untuk
memberikan perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingan konsumen. Perbedaan
prinsipnya dengan delik penipuan pada KUHP adalah unsur
“menguntungkan diri sendiri” dalam Pasal 378 KUHP tidak tercantum lagi
dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE, dengan konsekuensi hukum bahwa diuntungkan atau
tidaknya pelaku penipuan, tidak menghapus unsur pidana atas perbuatan tersebut
dengan ketentuan perbuatan tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi orang
lain.
0 komentar:
Posting Komentar